Kekerasan
terhadap anak
Pengertian
kekerasan terhadap anak
Banyak orangtua menganggap kekerasan pada anak
adalah hal yang wajar. Mereka beranggapan kekerasan adalah bagian dari
mendisiplinkan anak. Mereka lupa bahwa orangtua adalah orang yang paling
bertanggung jawab dalam mengupayakan kesejahteraan, perlindungan, peningkatan
kelangsungan hidup, dan mengoptimalkan tumbuh kembang anaknya. Keluarga adalah
tempat pertama kali anak belajar mengenal aturan yang berlaku di lingkungan
keluarga dan masyarakat. Sudah barang tentu dalam proses belajar ini, anak
cenderung melakukan kesalahan. Bertolak dari kesalahan yang dilakukan, anak
akan lebih mengetahui tindakan-tindakan yang bermanfaat dan tidak bermanfaat,
patut atau tidak patut. Namun orang tua menyikapi proses belajar anak yang
salah ini dengan kekerasan. Bagi orangtua, tindakan anak yang melanggar perlu
dikontrol dan dihukum. bagi orangtua tindakan yang dilakukan anak itu melanggar
sehingga perlu dikontrol dan dihukum.
Wikipedia Indonesia (2006) memberikan
pengertian bahwa kekerasan merujuk pada tindakan agresi dan pelanggaran
(penyiksaan, pemerkosaan, pemukulan, dll.) yang menyebabkan atau dimaksudkan
untuk menyebabkan penderitaan atau menyakiti orang lain. Istilah kekerasan juga
berkonotasi kecenderungan agresif untuk melakukan perilaku yang merusak.
Kekerasan terjadi ketika seseorang menggunakan kekuatan, kekuasaan, dan posisi
nya untuk menyakiti orang lain dengan sengaja, bukan karena kebetulan (Andez,
2006). Kekerasan juga meliputi ancaman, dan tindakan yang bisa mengakibatkan
luka dan kerugian. Luka yang diakibatkan bisa berupa luka fisik, perasaan,
pikiran, yang merugikan kesehatan dan mental.kekerasan anak Menurut Andez
(2006) kekerasan pada anak adalah segala bentuk tindakan yang melukai dan
merugikan fisik, mental, dan seksual termasuk hinaan meliputi: Penelantaran dan
perlakuan buruk, Eksploitasi termasuk eksploitasi seksual, serta trafficking/
jual-beli anak. Sedangkan Child Abuse adalah semua bentuk kekerasan terhadap
anak yang dilakukan oleh mereka yang seharusnya bertanggung jawab atas anak
tersebut atau mereka yang memiliki kuasa atas anak tersebut, yang seharusnya
dapat di percaya, misalnya orang tua, keluarga dekat, dan guru.
2.2 Sebab
terjadinya kekerasan pada anak
Banyak orang sukar memahami mengapa seseorang
melukai anaknya. Masyarakat sering beranggapan bahwa orang yang menganiaya
anaknya mengalami kelainan jiwa. Tetapi banyak pelaku penganiayaan sebenarnya
menyayangi anak-anaknya namun cenderung bersikap kurang sabar dan kurang dewasa
secara pribadi. Karakter seperti ini membuatnya sulit memenuhi kebutuhan
anak-anaknya dan meningkatkan kemungkinan tindak kekerasan secara fisik atau
emosional. Namun, tidak ada penjelasan yang menyeluruh tentang penganiayaan
pada anak. Hal itu terjadi sebagai akibat kombinasi faktor dari kepribadian,
sosial dan budaya. Menurut Richard J. Gelles, Ph.D. Faktor-faktor
penyebab penganiayaan ini dapat dikelompokkan dalam empat kategori utama, yaitu
sebagai berikut :
2.2.1 Penyebaran perilaku jahat antar generasi
2.2.1 Penyebaran perilaku jahat antar generasi
Banyak anak belajar perilaku jahat dari orang tua mereka dan kemudian
berkembang menjadi tindak kekerasan. Jadi, perilaku kekerasan diteruskan antar
generasi. Penelitian menunjukkan bahwa 30% anak-anak korban tindak kekerasan
menjadi orang tua pelaku tindak kekerasan. Mereka meniru perilaku ini sebagai
model ketika mereka menjadi orang tua kelak.
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.
2.2.2 Ketegangan Sosial
Namun, beberapa ahli percaya bahwa yang menjadi penentu akhir adalah apakah anak menyadari bahwa perilaku kasar yang dialaminya tersebut salah atau tidak. Anak-anak yang yakin bahwa mereka berbuat salah dan pantas mendapat hukuman akan menjadi orang tua pelaku kekerasan lebih sering daripada anak-anak yang yakin bahwa orang tua mereka salah kalau berlaku kasar pada mereka.
2.2.2 Ketegangan Sosial
Stres yang ditimbulkan oleh berbagai kondisi sosial meningkatkan risiko
tindak kekerasan pada anak dalam sebuah keluarga. Kondisi ini mencakup :
• Pengangguran.
• Sakit-penyakit.
• Kemiskinan dalam rumah tangga.
• Ukuran keluarga yang besar.
• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
• Kematian anggota keluarga.
• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
2.2.3 Isolasi sosial
• Pengangguran.
• Sakit-penyakit.
• Kemiskinan dalam rumah tangga.
• Ukuran keluarga yang besar.
• Kehadiran seorang bayi atau orang cacat mental dalam rumah.
• Kematian anggota keluarga.
• Penggunaan alkohol dan obat-obatan.
2.2.3 Isolasi sosial
Para orang tua atau pengasuh yang melakukan tindak kekerasan pada anak
cenderung kurang bersosialisasi. Beberapa orang tua pelaku kekerasan bahkan
bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan, dan kebanyakan kurang
berkomunikasi dengan teman-teman atau kerabatnya. Kurangnya sosialisasi ini
menyebabkan kurangnya dukungan masyarakat pada orang tua pelaku tindak
kekerasan untuk menolong mereka menghadapi ketegangan sosial atau ketegangan
dalam keluarga.
Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.
Faktor budaya sering menentukan banyaknya dukungan komunitas yang diterima sebuah keluarga. Komunitas itu berupa para tetangga, kerabat dan teman-teman yang membantu pemeliharaan anak ketika orang tuanya tidak mau atau tidak mampu. Di AS, para orang tua sering menaruh tanggung jawab pemeliharaan pada diri anak sendiri, yang berisiko tinggi mengakibatkan tegangan dan tindak kekerasan pada anak.
2.2.4. Struktur Keluarga
Tipe keluarga tertentu memiliki risiko anak terlantar dan terjadi tindak
kekerasan pada anak. Sebagai contoh :
• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.
• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.
• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.
• Orang tua tunggal lebih sering melakukan tindak kekerasan pada anak-anak daripada bukan orang tua tunggal. Hal ini disebabkan keluarga-keluarga dengan orang tua tunggal biasanya lebih sedikit mendapatkan uang daripada keluarga lainnya, sehingga hal ini dapat meningkatnya risiko tindak kekerasan.
• Keluarga-keluarga dengan keretakan perkawinan yang kronis atau tindak kekerasan pada pasangannya mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga tanpa masalah seperti ini.
• Keluarga-keluarga yang didalamnya baik suami atau istri mendominasi pengambilan keputusan yang penting – seperti dimana mereka akan tinggal, apa pekerjaan yang dilakukan, kapan mempunyai anak, dan berapa banyak uang yang dihabiskan untuk makanan dan rumah – mempunyai tingkat tindak kekerasan pada anak lebih tinggi daripada keluarga-keluarga yang di dalamnya para orang tua membagi tanggung jawab untuk keputusan-keputusan ini.
2.3 Dampak
kekerasan pada anak
Efek tindakan dari korban penganiayaan fisik
dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori. Ada anak yang menjadi negatif
dan agresif serta mudah frustasi; ada yang menjadi sangat pasif dan apatis; ada
yang tidak mempunyai kepibadian sendiri; ada yang sulit menjalin relasi dengan
individu lain dan ada pula yang timbul rasa benci yang luar biasa terhadap
dirinya sendiri. Selain itu Moore juga menemukan adanya kerusakan fisik,
seperti perkembangan tubuh kurang normal juga rusaknya sistem syaraf.
Anak-anak korban kekerasan umumnya menjadi sakit
hati, dendam, dan menampilkan perilaku menyimpang di kemudian hari. Bahkan,
Komnas PA (dalam Nataliani, 2004) mencatat, seorang anak yang berumur 9 tahun
yang menjadi korban kekerasan, memiliki keinginan untuk membunuh ibunya.
Berikut ini adalah dampak-dampak yang ditimbulkan
kekerasan terhadap anak (child abuse) , antara lain;
1) Dampak kekerasan fisik, anak yang mendapat
perlakuan kejam dari orang tuanya akan menjadi sangat agresif, dan setelah
menjadi orang tua akan berlaku kejam kepada anak-anaknya. Orang tua agresif melahirkan
anak-anak yang agresif, yang pada gilirannya akan menjadi orang dewasa yang
menjadi agresif. Lawson (dalam Sitohang, 2004) menggambarkan bahwa semua jenis
gangguan mental ada hubungannya dengan perlakuan buruk yang diterima manusia
ketika dia masih kecil. Kekerasan fisik yang berlangsung berulang-ulang dalam
jangka waktu lama akan menimbulkan cedera serius terhadap anak, meninggalkan
bekas luka secara fisik hingga menyebabkan korban meninggal dunia.
2) Dampak kekerasan psikis. Unicef (1986) mengemukakan,
anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan,
cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa
(memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk),
kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri. Menurut
Nadia (1991), kekerasan psikologis sukar diidentifikasi atau didiagnosa karena
tidak meninggalkan bekas yang nyata seperti penyiksaan fisik.
Jenis kekerasan ini meninggalkan bekas yang
tersembunyi yang termanifestasikan dalam beberapa bentuk, seperti kurangnya
rasa percaya diri, kesulitan membina persahabatan, perilaku merusak, menarik
diri dari lingkungan, penyalahgunaan obat dan alkohol, ataupun kecenderungan
bunuh diri.
3) Dampak kekerasan seksual. Menurut Mulyadi (Sinar
Harapan, 2003) diantara korban yang masih merasa dendam terhadap pelaku, takut
menikah, merasa rendah diri, dan trauma akibat eksploitasi seksual, meski kini
mereka sudah dewasa atau bahkan sudah menikah. Bahkan eksploitasi seksual yang
dialami semasa masih anak-anak banyak ditengarai sebagai penyebab keterlibatan
dalam prostitusi. Jika kekerasan seksual terjadi pada anak yang masih kecil
pengaruh buruk yang ditimbulkan antara lain dari yang biasanya tidak mengompol
jadi mengompol, mudah merasa takut, perubahan pola tidur, kecemasan tidak
beralasan, atau bahkan simtom fisik seperti sakit perut atau adanya masalah
kulit, dll (dalam Nadia, 1991);
4) Dampak penelantaran anak. Pengaruh yang paling
terlihat jika anak mengalami hal ini adalah kurangnya perhatian dan kasih
sayang orang tua terhadap anak, Hurlock (1990) mengatakan jika anak
kurang kasih sayang dari orang tua menyebabkan berkembangnya perasaan tidak
aman, gagal mengembangkan perilaku akrab, dan selanjutnya akan mengalami masalah
penyesuaian diri pada masa yang akan datang.
Dampak kekerasan terhadap anak lainnya (dalam
Sitohang, 2004) adalah kelalaian dalam mendapatkan pengobatan menyebabkan
kegagalan dalam merawat anak dengan baik. Kelalaian dalam pendidikan, meliputi
kegagalan dalam mendidik anak mampu berinteraksi dengan lingkungannya gagal
menyekolahkan atau menyuruh anak mencari nafkah untuk keluarga sehingga anak
terpaksa putus sekolah.
2.4 Solusi untuk mencegah terjadinya kekerasan
terhadap anak.
· Pendidikan
dan Pengetahuan Orang Tua Yang Cukup
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
Dari beberapa faktor yang telah kita bahas diatas, maka perlu kita ketahui bahwa tindak kekerasan terhadap anak, sangat berpengaruh terhahap perkembangannya baik psikis maupun fisik mereka. Oleh karena itu, perlu kita hentikan tindak kekerasan tersebut. Dengan pendidikan yang lebih tinggi dan pengetahuan yang cukup diharapkan orang tua mampu mendidik anaknya kearah perkembangan yang memuaskan tanpa adanya tindak kekerasan.
· Keluarga
Yang Hangat Dan Demokratis
Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya.
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).
Psikolog terpesona dengan penelitian Harry Harlow pada tahun 60-an memisahkan anak-anak monyet dari ibunya, kemudian ia mengamati pertumbuhannya. Monyet-monyet itu ternyata menunjukkan perilaku yang mengenaskan, selalu ketakutan, tidak dapat menyesuaikan diri dan rentan terhadap berbagai penyakit. Setelah monyet-monyet itu besar dan melahirkan bayi-bayi lagi, mereka menjadi ibu-ibu yang galak dan berbahaya. Mereka acuh tak acuh terhadap anak-anaknya dan seringkali melukainya.
Dalam sebuah study terbukti bahwa IQ anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya acuh tak acuh, bermusuhan dan keras, atau broken home, perkembangan IQ anak mengalami penurunan dalam masa tiga tahun. Sebaliknya anak yang tinggal di rumah yang orang tuanya penuh pengertian, bersikap hangat penuh kasih sayang dan menyisihkan waktunya untuk berkomunikasi dengan anak-anaknya, menjelaskan tindakanya, memberi kesempatan anak untuk mengambil keputusan, berdialog dan diskusi, hasilnya rata-rata IQ ( bahkan Kecerdasan Emosi ) anak mengalami kenaikan sekitar 8 point
Hasil penelitian R. Study juga membuktikan bahwa 63 % dari anak nakal pada suatu lembaga pendidikan anak-anak dilenkuen ( nakal ), berasal dari keluarga yang tidak utuh ( broken home ). Kemudian hasil penelitian K. Gottschaldt di Leipzig ( Jerman ) menyatakan bahwa 70, 8 persen dari anak-anak yang sulit di didik ternyata berasal dari keluarga yang tidak teratur, tidak utuh atau mengalami tekanan hidup yang terlampau berat. (Ahmad, Aminah . 2006 : 1).
· Membangun
Komunikasi Yang Efektif
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain
Kunci persoalan kekerasan terhadap anak disebabkan karena tidak adanya komunikasi yang efektif dalam sebuah keluarga. Sehingga yang muncul adalah stereotyping (stigma) dan predijuce (prasangka). Dua hal itu kemudian mengalami proses akumulasi yang kadang dibumbui intervensi pihak ketiga. Sebagai contoh kasus dua putri kandung pemilik sebuah pabrik rokok di Malang Jawa Timur. Amy Victoria Chan (10) dan Ann Jessica Chan (9) diduga jadi korban kekerasan dari ibu kandung mereka saat bermukim di Kanada. Ayahnya terlambat tahu karena sibuk mengurus bisnis dan hanya sesekali mengunjungi mereka. Mereka dituntut ibunya agar meraih prestasi di segala bidang sehingga waktu mereka dipenuhi kegiatan belajar dan beragam kursus seperti balet, kumon, piano dan ice skating. Jika tidak bersedia, mereka disiksa dengan segala cara. Mereka juga pernah dibiarkan berada di luar rumah saat musim dingin.(Kompas edisi 24 Januari 2006). Kejadian ini mungkin tidak terjadi jika ayahnya selalu mendampingi anak-anaknya.
Untuk menghindari kekerasan terhadap anak adalah bagaimana anggota keluarga saling berinteraksi dengan komunikasi yang efektif. Sering kita dapatkan orang tua dalam berkomunikasi terhadap anaknya disertai keinginan pribadi yang sangat dominan, dan menganggap anak sebagai hasil produksi orang tua, maka harus selalu sama dengan orang tuanya dan dapat diperlakukan apa saja.
Bermacam-macam sikap orang tua yang salah atau kurang tepat serta akibat-akibat yang mungkin ditimbulkannya antara lain
· Orang
tua yang selalu khawatir dan selalu melindungi
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak
Anak yang diperlakukan dengan penuh kekhawatiran, sering dilarang dan selalu melindungi, akan tumbuh menjadi anak yang penakut, tidak mempunyai kepercayaan diri, dan sulit berdiri sendiri. Dalam usaha untuk mengatasi semua akibat itu, mungkin si anak akan berontak dan justru akan berbuat sesuatu yang sangat dikhawatirkan atau dilarang orang tua. Konflik ini bisa berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak
· Orang
tua yang terlalu menuntut
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.
Anak yang dididik dengan tuntutan yang tinggi mungkin akan mengambil nilai-nilai yang terlalu tinggi sehingga tidak realistic. Bila anak tidak mau akan terjadi pemaksaan orang tua yang berakibat terjadinya kekerasan terhadap anak seperti contoh kasus di atas.
· Orang
tua yang terlalu keras.
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
Anak yang diperlakukan demikian cenderung tumbuh dan berkembang menjadi anak yang penurut namun penakut. Bila anak berontak terhadap dominasi orang tuanya ia akan menjadi penentang. Konflik ini bisa berakibat terjadi kekerasan terhadap anak. (Erwin. 1990 : 31 – 32).
2.5 Upaya yang dilakukan pemeritahan
Mengsosialisasi Undang-Undang No. 23 Tahun 2004
tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Kekerasan dalam rumah
tangga yang terjadi pada perempuan dan anak-anak merupakan masalah yang sulit
di atasi. Umumnya masyarakat menganggap bahwa anggota keluarga itu milik
laki-laki dan masalah kekerasan di dalam rumah tangga adalah masalah pribadi
yang tidak dapat dicampuri oleh orang lain. Sebetulnya Indonesia telah
meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempuan dan Undang-Undang No. 7/1984, Undang-undang no. 23 tahun 2002 tentang
perlindungan anak serta Undang-Undang No. 29 tahun 1999. (Suprapti, 2006 : 4).
Sering pejabat terkait seperti Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman masih banyak
yang kurang memahami sehingga setiap ada kasus-kasus kekerasan terhadap
perempuan dan anak-anak atau Hak Azazi Manusia masih selalu mengacu pada KUH
Pidana.
Oleh karena itu kita merasa sangat perlu untuk mensosialisasikan UU No. 23 Tahun 2004 tanggal 22 September 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, karena keutuhan dan kerukunan rumah tangga yang bahagia, aman, tentram dan damai merupakan dambaan setiap orang dalam rumah tangga agar dapat melaksanaan hak dan kewajibannya yang didasari oleh agama, perlu dikembangkan dalam membangun keutuhan rumah tangga.
Sosialisasi ini bisa melalui banyak cara antara lain penayangan iklan di televisi, melalui radio, poster, penataran, seminar dan distribusi buku UU tersebut ke masyarakat umum, akademisi, instansi pemerintah termasuk lini paling depan yaitu ibu-ibu PKK. UU No. 23/2004 sebetulnya masih kurang memuaskan karena bentuk-bentuk kekerasan terhadap perempuan dan anak-anak masih merupakan delik aduan, maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian. Penelitian membuktikan bahwa kekerasan terhadap anak justru dilakukan oleh orang dekat artinya orang yang dikenal oleh korban. Pelaku tindak kekerasan fisik dan seksual menurut pemantauan Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Jawa Barat tahun 2003 adalah orang-orang terdekat yaitu tetangga, orang tua, paman, kakek, teman, pacar serta saudara. Hal ini dapat juga dilihat dari lokasi tindak kekerasan paling banyak terjadi di rumah korban atau rumah pelaku.Setidaknya ini menunjukkan bahwa pelaku adalah orang yang dekat dengan korban. (Pikiran Rakyat, edisi 20 Januari 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar