Suku
dayak
Pengertian
Suku Dayak
Dayak atau Daya adalah nama yang oleh penduduk
pesisir pulau Borneo diberi kepada penghuni pedalaman yang mendiami Pulau Kalimantan yang meliputi Brunei, Malaysia yang terdiri dari Sabah dan Sarawak, serta Indonesiayang terdiri dari Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah, danKalimantan Selatan .
Budaya masyarakat Dayak adalah Budaya Maritim atau bahari. Hampir semua nama
sebutan orang Dayak mempunyai arti sebagai sesuatu yang berhubungan dengan
"perhuluan" atau sungai, terutama pada nama-nama rumpun dan nama
kekeluargaannya.
Ada yang membagi orang Dayak dalam enam rumpun yakni rumpun Klemantan alias Kalimantan, rumpun
Iban, rumpun
Apokayan yaitu Dayak Kayan, Kenyah dan Bahau, rumpun Murut, rumpun Ot
Danum-Ngaju dan rumpun Punan. Namun secara ilmiah, para
linguis melihat 5 kelompok bahasa yang dituturkan di pulau Kalimantan dan
masing-masing memiliki kerabat di luar pulau Kalimantan:
"Barito Raya (33
bahasa, termasuk 11 bahasa dari kelompok bahasa
Madagaskar, dan Sama-Bajau),
"Dayak Darat"
(13 bahasa)
"Borneo Utara"
(99 bahasa), termasuk bahasa Yakan di Filipina.
"Sulawesi
Selatan" dituturkan 3 suku Dayak di pedalaman Kalbar: Dayak
Taman, Dayak Embaloh, Dayak Kalis disebut rumpun Dayak Banuaka.
"Melayik"
dituturkan 3 suku Dayak: Dayak Meratus/Bukit (alias Banjararkhais yang digolongkan bahasa Melayu), Dayak Iban dan Dayak
Kendayan (Kanayatn). Tidak termasuk Banjar, Kutai, Berau, Kedayan (Brunei),
Senganan, Sambas yang dianggap berbudaya Melayu. Sekarang beberapa suku berbudaya
Melayu yang sekarang telah bergabung dalam suku Dayak adalah Tidung, Bulungan
(keduanya rumpun Borneo Utara) dan Paser (rumpun Barito Raya).
Sejarah
Suku Dayak
Suku Dayak adalah suku asli Kalimantan yang hidup
berkelompok yang tinggal di pedalaman, gunung, dan sebagainya. Kata Dayak itu
sendiri sebenarnya diberikan oleh orang-orang Melayu yang datang ke Kalimantan.
Orang-orang Dayak sendiri sebenarnya keberatan memakai nama Dayak, sebab lebih
diartikan agak negatif. Padahal, semboyan orang Dayak adalah “Menteng Ueh
Mamut”, yang berarti seseorang yang memiliki kekuatan gagah berani, serta tidak
kenal menyerah atau pantang mundur.
Pada tahun 1977-1978 saat itu, benua Asia dan pulau
Kalimantan yang merupakan bagian nusantara yang masih menyatu, yang memungkinkan
ras mongoloid dari asia mengembara melalui daratan dan sampai di Kalimantan
dengan melintasi pegunungan yang sekarang disebut pegunungan “Muller-Schwaner”.
Suku Dayak merupakan penduduk Kalimantan yang sejati. Namun setelah orang-orang
Melayu dari Sumatra dan Semenanjung Malaka datang, mereka makin lama makin
mundur ke dalam.
Belum lagi kedatangan orang-orang Bugis, Makasar,
dan Jawa pada masa kejayaan Kerajaan Majapahit. Suku Dayak hidup
terpencar-pencar di seluruh wilayah Kalimantan dalam rentang waktu yang lama,
mereka harus menyebar menelusuri sungai-sungai hingga ke hilir dan kemudian
mendiami pesisir pulau Kalimantan. Suku ini terdiri atas beberapa suku yang
masing-masing memiliki sifat dan perilaku berbeda.
Suku Dayak pernah membangun sebuah kerajaan. Dalam
tradisi lisan Dayak, sering disebut ”Nansarunai Usak Jawa”, yakni sebuah
kerajaan Dayak Nansarunai yang hancur oleh Majapahit, yang diperkirakan terjadi
antara tahun 1309-1389 . Kejadian tersebut mengakibatkan suku Dayak terdesak
dan terpencar, sebagian masuk daerah pedalaman. Arus besar berikutnya terjadi
pada saat pengaruh Islam yang berasala dari kerajaan Demak bersama masuknya
para pedagang Melayu sekitar tahun 1608 .
Sebagian besar suku Dayak memeluk Islam dan tidak
lagi mengakui dirinya sebagai orang Dayak, tapi menyebut dirinya sebagai orang
Melayu atau orang Banjar. Sedangkan orang Dayak yang menolak agama Islam
kembali menyusuri sungai, masuk ke pedalaman di Kalimantan Tengah, bermukim di
daerah-daerah Kayu Tangi, Amuntai, Margasari, Watang Amandit, Labuan Lawas dan
Watang Balangan. Sebagain lagi terus terdesak masuk rimba. Orang Dayak pemeluk
Islam kebanyakan berada di Kalimantan Selatan dan sebagian Kotawaringin, salah
seorang Sultan Kesultanan Banjar yang terkenal adalah Lambung Mangkurat
sebenarnya adalah seorang Dayak (Ma’anyan atau Ot Danum).
Tidak hanya dari nusantara, bangsa-bangsa lain juga
berdatangan ke Kalimantan. Bangsa Tionghoa diperkirakan mulai datang ke
Kalimantan pada masa Dinasti Ming tahun 1368-1643. Dari manuskrip berhuruf
kanji disebutkan bahwa kota yang pertama di kunjungi adalah Banjarmasin. Tetapi
masih belum jelas apakah bangsa Tionghoa datang pada era Bajarmasin (dibawah
hegemoni Majapahit) atau di era Islam.
Kedatangan bangsa Tionghoa tidak mengakibatkan
perpindahan penduduk Dayak dan tidak memiliki pengaruh langsung karena langsung
karena mereka hanya berdagang, terutama dengan kerajaan Banjar di Banjarmasin.
Mereka tidak langsung berniaga dengan orang Dayak. Peninggalan bangsa Tionghoa
masih disimpan oleh sebagian suku Dayak seperti piring malawen, belanga (guci)
dan peralatan keramik.
Sejak awal abad V bangsa Tionghoa telah sampai di
Kalimantan. Pada abad XV Raja Yung Lo mengirim sebuah angkatan perang besar ke
selatan (termasuk Nusantara) di bawah pimpinan Chang Ho, dan kembali ke
Tiongkok pada tahun 1407, setelah sebelumnya singgah ke Jawa, Kalimantan,
Malaka, Manila dan Solok. Pada tahun 1750, Sultan Mempawah menerima orang-orang
Tionghoa (dari Brunei) yang sedang mencari emas. Orang-orang Tionghoa tersebut
membawa juga barang dagangan diantaranya candu, sutera, barang pecah belah seperti
piring, cangkir, mangkok dan guci (Sarwoto kertodipoero,1963)
Sistem
Religi
Religi asli suku Dayak tidak terlepas dari adat
istiadat mereka. Bahkan dapat dikatakan adat menegaskan identitas religius
mereka. Dalam praktik sehari-hari, orang dayak tidak pernah menyebut agama
sebagai normativitas mereka, melainkan adat. Sistem religi ini bukanlah sistem
hindu Kahuringan seperti yang dikenal oleh orang-orang pada umumnya.
Orang Dayak Kanayatn menyebut Tuhan dengan istilah
Jubata. Jubata inilah yang dikatakan menurunkan adat kepada nenek moyang Dayak
Kanayatn yang berlokasi di bukit bawakng . Dalam mengungkapkan kepercayaan
kepada Jubata, mereka memiliki tempat ibadah yang disebut panyugu atau
padagi. Selain itu diperlukan juga seorang imam panyangahatn yang
menjadi seorang penghubung, antara manusia dengan Tuhan ( Jubata ).
Sekarang ini banyak orang Dayak Kanayatn yang
menganut agama Kristendan segelintir
memeluk Islam. Kendati sudah memeluk agama, tidak
bisa dikatakan bahwa orang Dayak Kanayatn meninggalkan adatnya. Hal menarik
ialah jika seorang Dayak Kanayan memeluk agama Islam, ia tidak lagi disebut
Dayak, melainkan Melayu atau orang
Laut .
Bahasa
Dayak Kanayatn memakai bahasa ahe/nana' serta
damea/jare dan yang serumpun. Sebenarnya secara isologis (garis yang
menghubungkan persamaan dan perbedaan kosa kata yang serumpun) sangat sulit
merinci khazanah bahasanya. Ini dikarenakan bahasa yang dipakai sarat dengan
berbagai dialek dan juga logat pengucapan. Beberapa contohnya ialah :
orang Dayak Kanayatn yang mendiami wilayah Meranti (Landak) yang memakai bahasa
ahe/nana' terbagi lagi ke dalam bahasa behe, padakng bekambai, dan bahasa moro.
Dayak Kanayatn di kawasan Menyuke (Landak) terbagi dalam bahasa
satolo-ngelampa', songga batukng-ngalampa' dan angkabakng-ngabukit. selain itu
percampuran dialek dan logat menyebabkan percampuran bahasa menjadi bahasa
baru.
Banyak Generasi Dayak Kanayatn saat ini tidak
mengerti akan bahasa yang dipakai oleh para generasi tua. Dalam komunikasi saat
ini, banyak kosa kata Indonesia yang diadopsi dan kemudian "di-Dayak-kan".
Misalnya ialah :bahasa ahe asli : Lea ,bahasa indonesia :
seperti ,bahasa ahe sekarang : saparati .Bahasa yang dipakai sekarang oleh
generasi muda mudah dimengerti karena mirip dengan bahasa indonesia atau
melayu.
Lembaga
Adat
Suku Dayak merupakan bagian dari masyarakat adat.
Masyarakat adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal usul
keturunan diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan
kekayaan alam, kehidupan sosial-budayanya diatur oleh hukum adat dan lembaga
adat yang mengelola keberlangsungan hidup masyarakatnya.
Hukum adat Dayak Kanayatn mempunyai satuan wilayah
teritorial yang disebut Binua. Binua merupakan wilayah yang
terdiri dari beberapa kampong . Masing-masing binua punya otonominya
sendiri, sehingga komunitas binua yang satu tidak dapat
mengintervensi hukum adat di binua lain.
Setiap binua dipimpin oleh seorang timanggong (kepala
desa).timanggong memiliki jajaran-bawahan yaitu pasirah (kepala
dusun) danpangaraga (ketua RW/RT). Ketiga pilar inilah yang menjadi
lembaga adat Dayak Kanayatn
Sistem
Kekerabatan
Sistem pertalian darah suku Dayak Kanayatn
menggunakan sistem bilineal/parental (ayah dan ibu). Dalam mengurai hubungan
kekerabatan, seorang anak dapat mengikuti jalur ayah maupun ibu. Hubungan
kekerabatan terputus pada sepupu delapan kali. Hubungan kekerabatan ini penting
karena hubungan ini menjadi tinjauan terutama pada perkara perkawinan. Mungkin
hal ini dimaksudkan agar tidak merusak keturunan.
I. Adat
Istiadat Suku Dayak
Di bawah ini ada beberapa adat istiadat suku dayak
yang masih terpelihara hingga kini, dan dunia supranatural Suku Dayak pada
zaman dahulu maupun zaman sekarang yang masih kuat sampai sekarang. Adat
istiadat ini merupakan salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh Bangsa
Indonesia, karena pada awal mulanya Suku Dayak berasal dari pedalaman
Kalimantan.
1. Upacara
Tiwah
Upacara Tiwah merupakan acara adat suku Dayak. Tiwah
merupakan upacara yang dilaksanakan untuk pengantaran tulang orang yang sudah meninggal
ke Sandung yang sudah di buat. Sandung adalah tempat yang semacam rumah kecil
yang memang dibuat khusus untuk mereka yang sudah meninggal dunia.
2. Dunia
Supranatural
Dunia Supranatural bagi Suku Dayak memang sudah
sejak jaman dulu merupakan ciri khas kebudayaan Dayak. Karena supranatural ini
pula orang luar negeri sana menyebut Dayak sebagai pemakan manusia ( kanibal ).
Namun pada kenyataannya Suku Dayak adalah suku yang sangat cinta damai asal
mereka tidak di ganggu dan ditindas semena-mena. Kekuatan supranatural Dayak
Kalimantan banyak jenisnya, contohnya Manajah Antang. Manajah Antang merupakan
cara suku Dayak untuk mencari petunjuk seperti mencari keberadaan musuh yang
sulit di temukan dari arwah para leluhur dengan media burung Antang, dimanapun
musuh yang di cari pasti akan ditemukan.
Mangkok merah. Mangkok merah merupakan media
persatuan Suku Dayak. Mangkok merah beredar jika orang Dayak merasa kedaulatan
mereka dalam bahaya besar. “Panglima” atau sering suku Dayak sebut Pangkalima
biasanya mengeluarkan isyarat siaga atau perang berupa mangkok merah yang di
edarkan dari kampung ke kampung secara cepat sekali. Dari penampilan
sehari-hari banyak orang tidak tahu siapa panglima Dayak itu. Orangnya
biasa-biasa saja, hanya saja ia mempunyai kekuatan supranatural yang luar
biasa. Percaya atau tidak panglima itu mempunyai ilmu bisa terbang kebal dari
apa saja seperti peluru, senjata tajam dan sebagainya.
Mangkok merah tidak sembarangan diedarkan. Sebelum
diedarkan sang panglima harus membuat acara adat untuk mengetahui kapan waktu
yang tepat untuk memulai perang. Dalam acara adat itu roh para leluhur akan
merasuki dalam tubuh pangkalima lalu jika pangkalima tersebut ber “Tariu” (
memanggil roh leluhur untuk untuk meminta bantuan dan menyatakan perang ) maka
orang-orang Dayak yang mendengarnya juga akan mempunyai kekuatan seperti
panglimanya. Biasanya orang yang jiwanya labil bisa sakit atau gila bila
mendengar tariu.
Orang-orang yang sudah dirasuki roh para leluhur
akan menjadi manusia dan bukan. Sehingga biasanya darah, hati korban yang
dibunuh akan dimakan. Jika tidak dalam suasana perang tidak pernah orang Dayak
makan manusia. Kepala dipenggal, dikuliti dan di simpan untuk keperluan upacara
adat. Meminum darah dan memakan hati itu, maka kekuatan magis akan bertambah.
Makin banyak musuh dibunuh maka orang tersebut makin sakti.
Mangkok merah terbuat dari teras bambu (ada yang
mengatakan terbuat dari tanah liat) yang didesain dalam bentuk bundar segera
dibuat. Untuk menyertai mangkok ini disediakan juga perlengkapan lainnya
seperti ubi jerangau merah (acorus calamus) yang melambangkan keberanian (ada
yang mengatakan bisa diganti dengan beras kuning), bulu ayam merah untuk
terbang, lampu obor dari bambu untuk suluh (ada yang mengatakan bisa diganti
dengan sebatang korek api), daun rumbia (metroxylon sagus) untuk tempat
berteduh dan tali simpul dari kulit kepuak sebagai lambang persatuan.
Perlengkapan tadi dikemas dalam mangkok dari bambu itu dan dibungkus dengan
kain merah.
Menurut cerita turun-temurun mangkok merah pertama
beredar ketika perang melawan Jepang dulu. Lalu terjadi lagi ketika pengusiran
orang Tionghoa dari daerah-daerah Dayak pada tahun 1967. pengusiran Dayak
terhadap orang Tionghoa bukannya perang antar etnis tetapi lebih banyak muatan
politisnya. Sebab saat itu Indonesia sedang konfrontasi dengan Malaysia.
Menurut kepercayaan Dayak, terutama yang dipedalaman
Kalimantan yang disampaikan dari mulut ke mulut, dari nenek kepada bapak, dari
bapak kepada anak, hingga saat ini yang tidak tertulis mengakibatkan menjadi
lebih atau kurang dari yang sebenar-benarnya, bahwa asal-usul nenek moyang suku
Dayak itu diturunkan dari langit yang ke tujuh ke dunia ini dengan “Palangka
Bulau” ( Palangka artinya suci, bersih, merupakan ancak, sebagai tandu yang
suci, gandar yang suci dari emas diturunkan dari langit, sering juga disebutkan
“Ancak atau Kalangkang” ).
J. Seni Tari
Dayak
1. Tari Gantar
Tarian yang menggambarkan gerakan orang menanam
padi. Tongkat menggambarkan
kayu penumbuk sedangkan bambu serta biji-bijian
didalamnya menggambarkan benih padi
dan wadahnya.
Tarian ini cukup terkenal dan sering disajikan dalam
penyambutan tamu dan acara-acara
lainnya.Tari ini tidak hanya dikenal oleh suku Dayak
Tunjung namun juga dikenal oleh
suku Dayak Benuaq. Tarian ini dapat dibagi dalam
tiga versi yaitu tari Gantar Rayatn,
Gantar Busai dan Gantar Senak/Gantar Kusak.
2. Tari Kancet Papatai
/ Tari Perang
Tarian ini menceritakan tentang seorang pahlawan
Dayak Kenyah berperang melawan musuhnya. Gerakan tarian ini sangat lincah,
gesit, penuh semangat dan kadang-kadang diikuti oleh pekikan si penari.
Dalam tari Kancet Pepatay, penari mempergunakan
pakaian tradisionil suku Dayak Kenyah dilengkapi dengan peralatan perang
seperti mandau, perisai dan baju perang. Tari ini diiringi dengan lagu Sak Paku
dan hanya menggunakan alat musik Sampe.
3. Tari Kancet Ledo /
Tari Gong
Jika Tari Kancet Pepatay menggambarkan kejantanan
dan keperkasaan pria Dayak Kenyah, sebaliknya Tari Kancet Ledo menggambarkan
kelemahlembutan seorang gadis bagai sebatang padi yang meliuk-liuk lembut
ditiup oleh angin.
Tari ini dibawakan oleh seorang wanita dengan memakai
pakaian Tari Kancet Ledo tradisional suku Dayak Kenyah dan pada kedua tangannya
memegang rangkaian bulu-bulu ekor burung Enggang. Biasanya tari ini ditarikan
diatas sebuah gong, sehingga Kancet Ledo disebut juga Tari Gong.
4. Tari Kancet Lasan
Menggambarkan kehidupan sehari-hari burung Enggang,
burung yang dimuliakan oleh
suku Dayak Kenyah karena dianggap sebagai tanda
keagungan dan kepahlawanan. Tari Kancet Lasan merupakan tarian tunggal wanita
suku Dayak Kenyah yang sama gerak dan posisinya seperti Tari Kancet Ledo, namun
si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang dan juga si
penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau duduk dengan
lutut menyentuh lantai.
Tarian ini lebih ditekankan pada gerak-gerak burung Enggang ketika terbang
melayang dan hinggap bertengger di dahan pohon. Posisinya seperti Tari
Kancet Ledo, namun si penari tidak mempergunakan gong dan bulubulu burung Enggang
dan juga si penari banyak mempergunakan posisi merendah dan berjongkok atau
duduk dengan lutut menyentuh lantai. Tarian ini lebih ditekankan pada
gerak-gerak burung Enggang ketika terbang melayang dan hinggap bertengger di
dahan pohon.
5. Tari Leleng
Tarian ini menceritakan seorang gadis bernama Utan
Along yang akan dikawinkan secara paksa oleh orangtuanya dengan pemuda yang tak
dicintainya. Utan Along akhirnya melarikan diri kedalam hutan. Tarian gadis
suku Dayak Kenyah ini ditarikan dengan diiringi nyanyian lagu Leleng.
6. Tari Hudoq
Tarian ini dilakukan dengan menggunakan topeng kayu
yang menyerupai binatang buas serta menggunakan daun pisang atau daun kelapa
sebagai penutup tubuh penari. Tarian ini erat hubungannya dengan upacara keagamaan
dari kelompok suku Dayak Bahau dan Modang. Tari Hudoq dimaksudkan untuk
memperoleh kekuatan dalam mengatasi gangguan hama perusak tanaman dan
mengharapkan diberikan kesuburan dengan hasil panen yang banyak.
7. Tari Hudoq Kita'
Tarian dari suku Dayak Kenyah ini pada prinsipnya
sama dengan Tari Hudoq dari suku Dayak Bahau dan Modang, yakni untuk upacara
menyambut tahun tanam maupun untuk menyampaikan rasa terima kasih pada dewa
yang telah memberikan hasil panen yang baik. Perbedaan yang mencolok anatara
Tari Hudoq Kita' dan Tari Hudoq ada pada kostum, topeng, gerakan tarinya dan
iringan musiknya. Kostum penari Hudoq Kita' menggunakan baju lengan panjang
dari kain biasa dan memakai kain sarung, sedangkan topengnya berbentuk wajah
manusia biasa yang banyak dihiasi dengan ukiran khas Dayak Kenyah. Ada dua
jenis topeng dalam tari Hudoq Kita', yakni yang terbuat dari kayu dan yang
berupa cadar terbuat dari manik-manik dengan ornamen Dayak Kenyah.
8. Tari Serumpai
Tarian suku Dayak Benuaq ini dilakukan untuk menolak
wabah penyakit dan mengobati
orang yang digigit anjing gila. Disebut tarian
Serumpai karena tarian diiringi alat musik Serumpai (sejenis seruling bambu).
9. Tari Belian
Bawo
Upacara Belian Bawo bertujuan untuk menolak
penyakit, mengobati orang sakit, membayar nazar dan lain sebagainya. Setelah
diubah menjadi tarian, tari ini sering disajikan pada acara-acara penerima tamu
dan acara kesenian lainnya. Tarian ini merupakan tarian suku
Dayak Benuaq.
10. Tari Kuyang
Sebuah tarian Belian dari suku Dayak Benuaq untuk
Tari Hudoq Tari Belian Bawo mengusir hantu-hantu yang menjaga pohon-pohon yang
besar dan tinggi agar tidak mengganggu manusia atau orang yang menebang pohon
tersebut.
11. Tari Pecuk Kina
Tarian ini menggambarkan perpindahan suku Dayak
Kenyah yang berpindah dari daerah Apo Kayan (Kab. Bulungan) ke daerah Long
Segar (Kab. Kutai Barat) yang memakan waktu bertahun-tahun.
12. Tari Datun
Tarian ini merupakan tarian bersama gadis suku Dayak
Kenyah dengan jumlah tak pasti,
boleh 10 hingga 20 orang. Menurut riwayatnya, tari
bersama ini diciptakan oleh seorang kepala suku Dayak Kenyah di Apo Kayan yang
bernama Nyik Selung, sebagai tanda syukur dan kegembiraan atas kelahiran
seorang cucunya. Kemudian tari ini berkembang ke segenap daerah suku Dayak
Kenyah.
13. Tari Ngerangkau
Tari Ngerangkau adalah tarian adat dalam hal
kematian dari suku Dayak Tunjung dan
Benuaq. Tarian ini mempergunakan alat-alat penumbuk
padi yang dibentur-benturkan secara teratur dalam posisi mendatar sehingga
menimbulkan irama tertentu.
14. Tari Baraga' Bagantar
Awalnya Baraga' Bagantar adalah upacara belian untuk
merawat bayi dengan memohon
bantuan dari Nayun Gantar. Sekarang upacara ini
sudah digubah menjadi sebuah tarian oleh suku Dayak Benuaq.
H. Macam-macam suku dayak
Suku Dayak Simpangk
Suku Dayak Kualant
Suku Dayak Ketungau
Suku Dayak Sebaruk
Suku Dayak Undau
Suku Dayak Desa
Suku Dayak Iban
Suku Dayak Pesaguan
Suku Dayak Lebang
I. Senjata Tradisional Suku Dayak
Pada zaman penjajahan di Kalimantan dahulu kala,
serdadu Belanda bersenjatakan senapan dengan teknologi mutakhir pada masanya,
sementara prajurit Dayak umumnya hanya mengandalkan sumpit. Akan tetapi,
serdadu Belanda ternyata jauh lebih takut terkena anak sumpit ketimbang
prajurit Dayak diterjang peluru. Berikut ini adalah senjata-senjata tradisional
suku dayak :
Sipet / Sumpitan. Merupakan senjata utama suku
dayak. Bentuknya bulat dan berdiameter 2-3 cm, panjang 1,5 - 2,5 meter,
ditengah-tengahnya berlubang dengan diameter lubang ¼ - ¾ cm yang digunakan
untuk memasukan anak sumpitan (Damek). Ujung atas ada tombak yang terbuat dari
batu gunung yang diikat dengan rotan dan telah di anyam. Anak sumpit disebut
damek, dan telep adalah tempat anak sumpitan.
Lonjo / Tombak. Dibuat dari besi dan dipasang atau
diikat dengan anyaman rotan dan bertangkai dari bambu atau kayu keras.
Telawang / Perisai. Terbuat dari kayu ringan, tetapi
liat. Ukuran panjang 1 – 2 meter dengan lebar 30 – 50 cm. Sebelah luar diberi
ukiran atau lukisan dan mempunyai makna tertentu. Disebelah dalam dijumpai
tempat pegangan.
Mandau. Merupakan senjata utama dan merupakan
senjata turun temurun yang dianggap keramat. Bentuknya panjang dan selalu ada
tanda ukiran baik dalam bentuk tatahan maupun hanya ukiran biasa. Mandau dibuat
dari batu gunung, ditatah, diukir dengan emas/perak/tembaga dan dihiasi dengan
bulu burung atau rambut manusia. Mandau mempunyai nama asli yang disebut
“Mandau Ambang Birang Bitang Pono Ajun Kajau”, merupakan barang yang mempunyai
nilai religius, karena dirawat dengan baik oleh pemiliknya. Batu-batuan yang sering
dipakai sebagai bahan dasar pembuatan Mandau dimasa yang telah lalu yaitu: Batu
Sanaman Mantikei, Batu Mujat atau batu Tengger, Batu Montalat.
Dohong. Senjata ini semacam keris tetapi lebih besar
dan tajam sebelah menyebelah. Hulunya terbuat dari tanduk dan sarungnya dari
kayu. Senjata ini hanya boleh dipakai oleh kepala-kepala suku, Demang, Basir.